HUJAN DI LANGIT NOVEMBER
Karya : Aprillia Berliandasenin sepi, kicau burung bersahutan. Tetesan embun menari-nari di balik kaca bening yang berada diruanganku. Terik sang surya mengembang seolah meneriakiku untuk segera bergegas. Tetapi hatiku terasa kosong, fikiranku melayang menyusul kepakan sayap burung terbang tanpa beban. Mataku masih merayangi langit biru seperti kidung yang dilanggamkan.
Sudah satu bulan aku mendapat mimpi yang aneh, aku selalu dihantui rasa bersalah. Sesosok lelaki yang tak kukenal selalu datang menghamipiri dan selalu meminta kembali apa yang ia berikan kepadaku. Matanya sayu, seolah seluruh harapan nya luluh ketika menatap mataku.
Hatiku merasa kering, dengan lihai kuseruput teh hangat demi menghilangkan kegundahan hati.
“dokter Niki, ditunggu ke ICU sekarang” perintah seorang perawat rumah sakit, yang mengenakan seragam biru putih seraya mempertegas identitas rumah sakit Internasional yang menaunginya.
Kusambar almamater putih, lengkap dengan ID card bertuliskan “dr.Annalise L Carolline” sigap aku meninggalkan ruangan dan langsung memencet tombol lift yang berada di samping ruangan kerjaku.
Sesampainya di ICU terlihat seorang laki-laki bertelanjang dada, yang penuh dengan alat pemantau jantung, kulit nya putih bersih, alis nya tebal terbaring pasrah di atas bed ICU . Rupanya lelaki itu menderita “Different Heart Diseases " penyakit yang pernah kualami 4 tahun yang lalu. Sampai akhirnya seseorang yang tak kukenal berbaik hati merelakan jantungnya untukku tanpa meminta imbalan sedikitpun.
Setelah kuamati raut muka nya yang hampir habis di telan kehawatiran. Jantungku tiba-tiba berdegup kencang. Seolah ada ikatan batin antara aku dan lelaki ini. Entah mengapa? setiap kali aku menatap wajahnya, aku dapat melihat secerca penderitaan yang ia alami.
Berkas yang perawat berikan kepadaku menegaskan jika lelaki yang bernama lengkap Reynaldi wiantoro ini. Mengidap penyakit DHD bukan semata-mata karena faktor Genetik, tetapi ada pemicu lain yaitu ia menukarkan jantung sehatnya dengan jantung penderita DHD, bersamaan dengan pencangkokan jantungku di tahun 2010. Tubuhku bergidik cepat, seolah merasakan kembali penderitaan itu.
***
“selamat pagi” kusapa semua pasien dari yang muda sampai yang tua. Tugasku tak pernah selesai. Setiap hari harus mengkontrol keadaan pasien yang menjadi tanggung jawabku.
“pagi dok,” sapa Rey lelaki yang kemarin sempat pingsan dan kondisinya sekarang sudah terlihat fit, meski tak dapat dipungkiri jika raut muka nya masih terdapat secerca kehawatiran yang tergambar jelas di benaknya.
“tubuh kamu sudah pulih, hanya saja kamu perlu menjalani terapi, dan sekarang kamu boleh pulang” tukasku.
Perasaanku masih sama dengan pandangan pertama ketika aku melihat lelaki ini, jantungku berdegup kencang dan tubuhku tiba-tiba saja bergidik, nafasku menggebu cepat. Tetap saja berhasil kututupi dengan sempurna.
Rey pun keluar dari ruangan rawat inap, ia berjalan menyusuri koridor rumah sakit tanpa ditemani oleh kerabat dengan lihai ia mengurus administrasinya sendiri.
“ada apa dengan lelaki misterius itu” tanyaku dalam hati.
***
Malam itu aku sangat letih, sampai-sampai aku meminta Kelvin adikku untuk memarkirkan mobil. Langit sepi, nyaris tak ada bintang yang berkerlip sekali pun.
Kubenamkan badanku di atas springbed, tempat peraduan terakhirku. Kupejamkan kedua mata dan tanpa kusadari hari sudah siang, kutatap jam digital yang berada di samping kiri meja . 9.30 pagi, tubuhku tersentak dan buru-buru bangkit menuju kamar mandi.
Secepat kilat kutancapkan pedal mobil dengan keadaan ngebut. Aku tak pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya, aku tak tahu apa yang terjadi dengan reputasiku sebagai dokter muda yang selalu menomer satukan penampilan .
“mampus!” omelku di belakang setir tanpa memerhatikan kanan kiri, pandanganku lurus menatap jalan raya yang sesak dengan kendaraan.
Suasana di rumah sakit ramai lancar seperti biasanya. Hanya saja terlihat seorang lelaki mematung di depan lobby sambil melipat kedua tangan nya di depan dada. Aku tak dapat melihat lelaki itu dengan jelas, wajahnya tak tertangkap jelas oleh lensa kacamataku.
Senyum nya mengembang ketika ia melihatku mengerutu. Tangan hangatnya dengan cepat membenarkan tatanan hijabku yang mungkin membuatnya sedikit jengkel, Gio tipe lelaki yang necis, dia tak ingin terlihat buruk hanya karena penampilan nya yang asal-asalan.
“ini kesalahan besar nik, aku lumutan nungguin kamu gak dateng-dateng” aku terkekeh seraya menarik tangan kanan nya masuk kedalam ruangan. Senyuman hangat nya mampu menghapuskan rasa kesalku tadi. Mungkin dialah alasan terbesarku untuk menikmati hidup yang indah ini.
Betapa terkejutnya hatiku, ketika mendapati berkas 4 tahun yang lalu terjatuh dari daftar riwayat pasien. Bertuliskan jika Rey menyetujui cangkok jantung yang ia donorkan untuk pasien yang bernama “Annalise L. Carolline” sontak tubuhku bergetar, bibirku membeku dan lidahku keluh saat Rey menyapaku untuk menanyakan terapinya.
Kuhujami lelaki itu dengan pertanyaan yang membuat dadaku sesak tak terampuni “apa ini? Ternyata kamu yang mendonorkan jantung itu?” lelaki itu panik saat mendapatiku memegang lembaran persetujuan itu. Wajahnya pucat pasi, butir-butir peluh memenuhi dahi nya.
“akulah lelaki yang telah mendonorkan jantung itu, aku tak tahu mahluk apa yang telah merasuki fikiranku saat itu. Hanya saja aku terlalu mencintaimu. kakak tingkatmu yang membantumu saat ketua ospek menyembunyikan kacamata hitammu dulu dan sampai akhirnya, aku mengetahui jika kamu menderita penyakit DHD yang membuatku semakin terpuruk. Itulah alasan mengapa aku rela menukarkan jantung ku dan menerima jantung mu. nik” penjelasan rey seakan menjadi cambuk bagiku. Aku merasa bersalah atas apa yang telah Rey perbuat.
“manusia bodoh!! Manusia mana yang lebih bodoh darimu? Rela menukarkan jantung sehatnya ke wanita seperti aku? Wanita yang tak pernah hadir dalam hari-harimu! Kau bodoh, tega menyakiti tubuhmu sendiri” mungkin isak tangisku tadi terdengar sampai ke dalam ruangan.
Aku meringis dan tak mampu mengatakan sepatah kata pun, dengan tega aku meninggalkan Rey yang berlinang air mata duduk di kursi taman. Rey lelaki yang selalu datang menghampiri ku, selalu datang di setiap mimpiku. Perasaanku telah membuktikan jika “Rasa” yang ku rasakan itu ialah rasa dimana anggota tubuh lelaki itu tertanam di dalam tubuhku. Aku berontak di dalam ruangan kerjaku. Tampak Gio melihat keadaan itu . Air mataku mengalir tanpa henti seiring hujan yang menguyuri padang pasir. Hatiku meradang dan tubuhku beku.
“kamu kenapa?” tukas Gio yang merangkul tubuh mungilku dalam pelukan nya. Hatiku sedikit lega ketika Gio membelai rumbutku seolah ikut merasakan apa yang aku rasakan, aku hanya terdiam, menikmati waktu yang terbuang dalam pelukan nya.
***
Aku berfikir keras semalaman, jalan keluar apa yang harus kutempuh tanpa menyakiti perasaan siapapun.
“aku harus mengembalikan jantung ini kepada pemiliknya, aku tak mampu jika hidup dalam penderitaan orang lain” gumamku dalam hati.
Diam-diam aku melakukan operasi tertutup dengan meminta bantuan kepada sahabat karibku “dr.Namira”. Tanpa basa-basi operasi pun berjalan dengan lancar. Meski perbuatan ini membuat sahabatku marah besar, dengan berat hati aku harus melakukan nya.
“aku lebih memilih jantung ini,biarkan lah takdir yang menjawab seberapa lama nyawaku bisa bertahan.” Semenjak hari itu aku tak melihat jejak Rey lagi dan menghilang dari kehidupan Gio, aku mencabut izin praktek dan memilih untuk pensiun dini dari dunia kedokteran. Rasa bersalahku telah rapuh di hapus waktu. Aku lebih tenang, hidup damai bersama jantung lamaku.
***
“November”
celetuku sambil menyeruput cappucinno latte seraya menghangatkan badan di tengah rintihan hujan. Sudah tujuh bulan aku kembali dengan jantung lamaku. Berusaha berdamai dengan keadaan, berusaha menebar senyum dan cinta di setiap hari nya.
Aku mematut di depan cermin, seluruh badanku biru lebam, harapan hidupku sudah menipis, mengingat penyakit DHD itu kembali menyarangi tubuh mungilku. Wajahku tak lagi secerah dulu, rasa takut itu selalu menghantui, suatu saat aku akan terpuruk menahan perih nya detakan jantung yang tak teratur.
Kudapati diriku berbaring pasrah di sebuah ruangan ICU. Aku hafal dengan langit-langit ruangan ini dan hiruk pikuk nya.
24 November, tepat 26 tahun silam aku lahir kedunia, dan hari ini menjadi akhir dari petualanganku. Rintihan hujan dan detak jantung ini yang menghantarkanku kembali kepadanya.
Aku pergi…….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar